Aku
hanya bisa termangu menatap cairan bening yang mengalir dari sepasang mata
indah milikmu. Aku hanya bisa mengulurkan sebungkus tissue yang entah kenapa
bisa terselip di salah satu laci tasku. Walau pada akhirnya kau kaget dan
terburu-buru menghapus air matamu setelah sadar bahwa aku sudah berjongkok di
depanmu yang terduduk tersedu dan tak berdaya.
Wajah
kagetmu itu menggelitikku untuk menyunggingkan sebuah senyuman. Bukan, bukan
senyuman mengejek ataupun menghina. Hanya sebuah senyuman yang menyampaikan
bahwa aku tak keberatan melihat kau menangis, jadi kau tak perlu malu.
Aku
tahu benar bahwa tangisan itu adalah hal yang tabu bagi seorang lelaki. Tapi,
faktanya aku malah suka dengan air matamu. Aku terpikat dengan tangismu. Aku
jatuh cinta padamu yang sedang menangis.
Kau
tertawa kikuk seperti seorang bocah yang ketahuan sedang membaca majalah dewasa
oleh kakak perempuannya. Dengan terburu-buru kau menghapus air mata yang
membasahi wajahmu dengan lengan kemeja yang kau pakai. Wajahmu yang merona,
gerakanmu yang kalap, matamu yang berusaha tak menatapku, semuanya aku suka.
Aku
hanya menatapmu dalam diam sambil bertopang dagu dengan lututku. Kutahan sekuat
tenaga keinginanku untuk membelai pipimu dan mengusap wajahmu yang terlihat
sembab karena kutahu bahwa sebagai seorang lelaki, harga dirimu akan semakin
tercabik-cabik jika diperlakukan seperti itu olehku. Jadi hanya sebuah
pertanyaan yang bisa kuajukan.
"Kenapa
lu nangis?"
Kau
menggeleng keras tanpa mengeluarkan suara. Hanya menunduk dalam kebisuan sambil
menahan
rasa malu.
Aku
yang tak tahan akhirnya berpindah duduk di sisimu dan menarik kepalamu dalam
dekapan sebelah tanganku dan berucap.
"Menangislah.
Menangislah jika itu bisa membuat lu sedikit merasa lega."
***