Aku
hanya bisa termangu menatap cairan bening yang mengalir dari sepasang mata
indah milikmu. Aku hanya bisa mengulurkan sebungkus tissue yang entah kenapa
bisa terselip di salah satu laci tasku. Walau pada akhirnya kau kaget dan
terburu-buru menghapus air matamu setelah sadar bahwa aku sudah berjongkok di
depanmu yang terduduk tersedu dan tak berdaya.
Wajah
kagetmu itu menggelitikku untuk menyunggingkan sebuah senyuman. Bukan, bukan
senyuman mengejek ataupun menghina. Hanya sebuah senyuman yang menyampaikan
bahwa aku tak keberatan melihat kau menangis, jadi kau tak perlu malu.
Aku
tahu benar bahwa tangisan itu adalah hal yang tabu bagi seorang lelaki. Tapi,
faktanya aku malah suka dengan air matamu. Aku terpikat dengan tangismu. Aku
jatuh cinta padamu yang sedang menangis.
Kau
tertawa kikuk seperti seorang bocah yang ketahuan sedang membaca majalah dewasa
oleh kakak perempuannya. Dengan terburu-buru kau menghapus air mata yang
membasahi wajahmu dengan lengan kemeja yang kau pakai. Wajahmu yang merona,
gerakanmu yang kalap, matamu yang berusaha tak menatapku, semuanya aku suka.
Aku
hanya menatapmu dalam diam sambil bertopang dagu dengan lututku. Kutahan sekuat
tenaga keinginanku untuk membelai pipimu dan mengusap wajahmu yang terlihat
sembab karena kutahu bahwa sebagai seorang lelaki, harga dirimu akan semakin
tercabik-cabik jika diperlakukan seperti itu olehku. Jadi hanya sebuah
pertanyaan yang bisa kuajukan.
"Kenapa
lu nangis?"
Kau
menggeleng keras tanpa mengeluarkan suara. Hanya menunduk dalam kebisuan sambil
menahan
rasa malu.
Aku
yang tak tahan akhirnya berpindah duduk di sisimu dan menarik kepalamu dalam
dekapan sebelah tanganku dan berucap.
"Menangislah.
Menangislah jika itu bisa membuat lu sedikit merasa lega."
***
"Jun!"
Suaramu
terdengar lebih riang hari ini. Tak seperti kemarin saat kutemukan kau menangis
tersedu di belakang gedung kuliah dan berakhir menghabiskan tangisanmu di dalam
dekapanku.
"Hai,
Ya."
Kau
yang berlari riang mendekat merupakan pemandangan siang yang indah dimataku.
Hari ini aku sangat beruntung.
"Lu
ada kuliah jam segini?"
"Enggak,
kenapa?"
"Gue
mau nraktir lu,"
Alisku
bertaut. Ada apa gerangan.
"Lho?
Tumben?" ledekku.
Rona
merah terlihat di pipimu. Manis sekali.
"Anu,
hitung-hitung ucapan terima kasih soal yang kemarin,"
Mataku
membulat. Hei, dia berterima kasih padaku? Dan tanpa sadar, sebelah lenganku
sudah mendarat di kepalanya dan mengaca-acak rambutnya yang sebelumnya tertata
rapi.
"Thanks.
Kebetulan gue lagi laper!"
Aku hanya duduk dan memandangmu yang menghabiskan sepiring siomay dengan lahap. Jujur saja pemandangan itu sudah cukup membuat perut dan hatiku kenyang.
"Lu
yakin nggak pesen makanan? Katanya tadi lu laper?"
Hei,
perhatianmu itu membuatku menjadi seseorang yang beruntung diantara ribuan
bahkan jutaan orang di
kota ini.
Aku
hanya menggeleng pelan dan tersenyum, "Liat lu makan mendadak gue jadi
kenyang," kemudian menyeruput sedikit es jeruk yang kupesan dan kembali
memandangmu yang kini mengerjap beberapa kali dengan wajah tak percaya.
Tawa
renyahmu yang selalu disukai indra pendengarku terdengar.
"Lu
itu ya, seharusnya dilahirkan sebagai cowok! Kaya'nya Tuhan benar-benar masukin
jiwa ke raga yang salah deh!"
"Kenapa
lu mikir kaya' gitu?" tanyaku seolah-olah penasaran dengan ucapannya.
"Ya
iya lah… Lu itu gentle banget tau! Tiap temen cewe yang gue kenal selalu
ngeributin 'Seandainya Juni itu seorang cowo, dia pasti bakalan gue jadiin
pacar!'"
Alisku
bertaut, "Gentle dari manaan sih?"
Kau
meneguk air minum pesananmu dengan sedikit terburu-buru hingga beberapa tetes
air membasahi sudut bibir dan dagumu. Dengan sigap kuambil serbet kertas terdekat dan
mengusapkannya ke bagian wajahmu yang basah.
"Nah,
sikap kaya gini yang namanya gentle!" lanjutmu tiba-tiba.
"Tiap
lu jalan sama teman cewe atau cowo yang bodynya lebih kecil dari lu, lu selalu
ngambil posisi di bagian badan jalan. Tiap mau nyeberang, lu selalu memosisikan diri di
sebelah arah datangnya kendaraan. Mau masuk kelas, lu selalu mendahulukan teman-teman
cewe. Lu juga selalu ngebantuin teman-teman cewe yang kesusahan bawa barang
atau apapun itu. Termasuk saat lu ngelap air minum gue dan pas saat gue
nangis—" suaramu mengecil sekejap. "—kemarin,"
Rona
merah kembali menghiasi wajah manismu, dan itu berhasil membuatku menyunggingkan
seulas senyum.
"Lu
curang!" lirihmu dengan wajah yang masih memerah.
Untungnya
kita duduk di bangku paling sudut di kantin ini dan suasana sedang hiruk-pikuk
dengan para mahasiswa yang kini memfokuskan diri berkutat dengan perut mereka
yang keroncongan sehingga tak begitu peduli dengan kegiatan orang lain.
"Curang
dimananya?" tanyaku heran sambil menopangkan dagu di lenganku.
"Nggak
seharusnya lu ngelihat gue nangis kemarin. Dan gue juga malu-maluin banget
karena bisa-bisanya nangis di pundak cewe',"
Aku
menggaruk pelipisku yang tak gatal.
"Lalu
hubungannya dengan curang?" tanyaku dengan alis bertaut.
"Dimana-mana
cowo yang mendekap cewe yang nangis, bukan cewe yang mendekap cowo yang
nangis,"
Aku
kembali tersenyum mengerti arah pembicaraan ini.
"Tapi,
gue nggak masalah kok. Tangis itu hak dari setiap manusia. Bukan hanya wanita.
Nggak ada larangan dan hukuman yang mengikat seorang laki-laki nggak boleh
nangis kan?"
"Tapi,
di depan lu—"
"Jadi,
lu lebih milih kepergok lagi nangis sama salah satu teman cowok lu, gitu?"
potongku.
Parasnya
pucat seketika. Dia menggeleng cepat.
"Kalau
kejadian kaya gitu, gue bisa malu tujuh turunan!"
Aku
tersenyum puas, "Kan, masih untung gue yang nemuin lu."
Makananmu tandas, gelaskupun kosong. Jam istirahat berakhir dan satu persatu mahasiswa telah melangkah meninggalkan kantin dengan wajah puas karena perut telah berisi. Begitupula kau yang dengan santainya menepuk-nepuk perutmu yang kini telah padat.
Aku
berdiri dari dudukku dan menyampirkan ransel ke punggung kurusku setelah
melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kiriku. Waktunya aku kuliah.
Walau kakiku enggan melangkah berpisah denganmu, tapi kewajibanku sebagai
seorang mahasiswa tetap harus kujalankan.
"Ya,
sorry banget. Gue ada kuliah, jadi gue cabut duluan ya," ucapku dengan
wajah kecewa.
"Ah,
iya gapapa, duluan aja. Biar minum lu gue yang bayar."
"Thanks
banget ya. Udah nraktir gue. Kesempatan langka gini jarang-jarang,"
ledekku lagi.
Kaupun
tertawa, "Sialan lu! Emang gue sepelit dan semiskin itu?"
Aku
diam sejenak seolah-olah berfikir, "Iya. Lu kan mahasiswa paling melarat
yang gue kenal!"
"Sial!
Besok-besok lu ga bakal gue traktir lagi! Rugi gue!"
Aku
hanya berjalan menjauh sambil tertawa mendengar kau yang misuk-misuh setelah
kuledek. Tapi, beberapa detik kemudian kakiku berhenti melangkah. Kutolehkan
kepalaku padamu yang kini baru berdiri dari duduk.
"Arya,
kalau lu mau cerita, apapun itu. Gue siap jadi pendengar kok," ucapku
tulus.
Senyummu
sudah cukup menandakan bahwa kau menghargai tawaranku.
"Thanks,
Jun. Lu memang teman yang baik."
Malam
itu, malam yang gelap tanpa bintang. Awan mendung yang dari sore
tadi menghalangi langit senja kini juga menghalangi pendaran lembut bintang
yang menghiasi jagad malam. Ponselku berdering nyaring di atas meja belajarku.
Namamu tercantum di layar yang kini masih berkedip. Aku melirik jam dinding
sekilas yang kini menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Halo,
ada apa, Ya?" tanyaku sedikit panik. Tak biasanya kau menelponku di jam
segini.
"Jun,"
Suara
lirihmu terdengar nyaris berbisik.
"Arya,
lu kenapa?"
Tak
pernah aku sepanik ini kecuali waktu adikku kecelakaan tiga tahun lalu.
"Juni,
gue butuh lu,"
***
Wahai pangeran mungil
Apa yang kau tangisi?
Apa yang kau resahkan?
Apa yang kau cemaskan?
Apa yang kau takutkan?
Izinkan aku yang menjadi tamengmu?
Menjadi Perisaimu,
Pelindungmu,
Penjagamu,
Hapuslah air matamu
Kegundahanmu
Resahmu
Karena itu kan membuaku ikut menangis
Ikut bersedih
Ikut tersakiti
***
Dengan
panik kulajukan sepeda motorku dengan kecepatan penuh. Dinginnya malam tak
kuhiraukan menusuk-nusuk kulitku. Jujur saja aku panik, aku kalap, aku tak bisa
berfikir jernih, yang ada di kepalaku kini hanya kau. Sesampainya di tempat
itu, kuparkirkan asal kendaraanku dan berlari menuju lokasi yang tadi kau
sebutkan di telpon dan saat kutemukan, sosokmu terlihat begitu lemah dan
terpuruk.
“Arya?”
panggilku ragu saat melihat sosok ringkih itu di depanku. Lelaki berparas
tampan dan semampai itu terlihat begitu kecil sambil memeluk lututnya.
Sosok
yang memang kau itu, terlihat menengadahkan kepalanya. Mata sayumu terlihat
sembab. Kau kembali menangis.
“Lu
kenapa?” tanyaku cemas dengan kondisimu yang terlihat lebih parah dari kemarin.
Kau
menghambur ke pelukanku dan menangis tersedu di dalam dekapanku. Tubuhmu yang
terpaut lima centi di atasku
membuatmu harus sedikit merunduk untuk menyembunyikan wajah tangismu di pundak
kurusku. Tanpa waktu lama, kaos bagian pundakku basah oleh air matamu.
***
Aku
menyerahkan sebotol air mineral ke tanganmu. Sosokmu yang tadi menangis tersedu
kini sudah terlihat sedikit tenang. Tapi, aku tetap sabar menunggu kau mulai
bercerita.
“Sory
ya, Jun. Gue benar-benar laki-laki yang memalukan. Nangis di tengah malam
begini, dan malah minta seorang cewe datang buat nenangin gue. Tapi, jujur gue
nggak tahu lagi siapa yang harus gue hubungi. Dan gue terlalu pengecut untuk
melewati semua masalah gue sendiri,”
Suaramu
yang lirih dan penuh rasa bersalah membuat tanganku meraih kepalanya dan
mengadu keningku dengan kening milikmu.
“Hei,
tadi siang kan gue udah bilang. Kalau lu mau cerita, apapun itu, gue siap jadi
pendengar. Jadi lu nggak usah nggak enak hati kaya gitu donk,”
Kau tersenyum
simpul. Sukses membuat hatiku sedikit tenang.
“Lu
memang seharusnya jadi cowo!” ucapmu sambil memejamkan mata.
Kata-kata
itu selalu sukses membuatku tersenyum.
“Lu
mau bilang hal kaya gitu berapa kali sih, Arya?”
“Gue
benar-benar berfikir kaya gitu lho, Juni Prananta!”
Aku
terkekeh pelan saat kau menyebutkan nama lengkapku.
“Sayangnya
gue terlahir jadi cewe, Arya Dipta Kahfi!” ucapku sambil membalas menyebut nama
lengkapmu.
Kau
terdiam. Akupun terdiam. Kini yang terdengar hanya deru angin malam yang
menghembus di antara kita. Dahi kita yang tadi menempel kini sudah mengambil
jarak. Aku kini dapat jelas menatap wajahmu yang masih sedikit sembab di bagian
kelopak mata bawah. Lenganku terulur perlahan mengusap pipimu.
“Lu
nggak minta gue cerita?” tanyamu heran tapi tetap membiarkan tanganku bermain-main
dengan helaian rambutmu yang jatuh tak beraturan di area pelipis.
Aku
tersenyum tanpa menghentikan gerakan tanganku yang kini perlahan merapikan
rambutmu yang sedikit berantakan.
“Gue
hanya ingin dengar cerita lu di saat lu siap untuk bercerita. Jadi lu nggak
perlu cemas,”
Kau
tertunduk sejenak, senyuman hilang dari parasmu dan berganti dengan tatapan
nanar.
“Jun,
sebenarnya gue…”
***
Aku
tahu, amat sangat tahu. Sudah kuduga sebelumnya. Kau dan dia. Kau dan Bima
Erlangga, sahabatmu sejak kecil itu. Dia yang membuatmu begini.
Kau
yang begitu lembut dan dia yang begitu tegas. Kau yang begitu halus dan dia
yang begitu jantan. Kau dan dia. Bagaikan bumi dan langit, bulan dan matahari,
berbeda tapi saling melengkapi. Itulah kalian.
Saling
mengenal sejak di bangku sekolah dasar, bertetangga, dan orang tua yang saling
bersahabat membuat kalian dekat seperti selayaknya saudara kandung. Kau yang
sewaktu kecil terkesan lemah selalu berlindung di balik punggung Bima yang
tegap dan tangguh. Bima yang selalu melindungimu, Bima yang selalu menjagamu,
dan Bima yang selalu berada di sampingmu. Dia bagai seorang kakak yang amat kau
dambakan, dan kau bagai adik yang selalu ia idamkan. Kedekatan kalian bagai benang
tebal yang melingkar di pergelangan tangan mungil sepasang anak manusia.
Sayangnya,
ikatan kakak-adik itu hanya bertahan hingga kalian berusia 15 tahun. Ikatan
yang dirajut dengan benang kasat mata itu hancur ketika kau menyadari bahwa kau
jatuh cinta padanya, pada lelaki yang awalnya kau anggap sebagai sahabat
sekaligus kakak.
Sejak
saat itu kau tetap berusaha berada di dekatnya. Tapi, kedekatanmu kali ini
sedikit berbeda karena kau menutupi perasaan cintamu padanya. Kau tahu
perasaanmu itu amat salah, tak normal, dan berbahaya. Tapi, kaupun tak sanggup
untuk mengalihkan rasa cintamu darinya. Hingga akhirnya kau menyakiti dirimu
sendiri.
Rasa
sakit itu kembali menorehkan luka dalam setiap kali kau melihat Bima bersama
gadis lain. Bima yang terlahir tampan dan rupawan seolah ditakdirkan
dikelilingi gadis-gadis cantik. Kau tersingkirkan. Tapi, setiap hubungan Bima
dengan gadis-gadis cantik nan rapuh itu berakhir, kau kembali melangkah
mendekat dan mengisi kekosongan di hati Bima. Bagai seorang adik yang berusaha
membuat kakaknya kembali ceria. Selalu seperti itu, berulang kali, dengan pattern yang sama.
Hingga
kini, entah berapa kali kau kembali terluka dan menangis setiap kali Bima
mendapatkan seorang kekasih. Ketika Bima mengenalkan kekasih-kekasihnya dengan
bangga di depanmu, ketika Bima dengan santainya bermesraan dengan kekasihnya di
hadapanmu. Ketika Bima mencumbu kekasihnya tepat di depan matamu.
***
“Jun,
lu pasti jijik sama gue, kan?”
Kau
menengadahkan wajahmu menatap langit kelam tak berbintang itu dengan tatapan
nanar.
“Saat
gue sadar kalau gue Gay, gue rasanya
ingin mati saat itu. Gue takut, gue kalut, gue nggak tau harus ngapain. Gue
jijik dengan perasaan gue. Gue jijik dengan tubuh gue!”
Aku
kembali mendekapnya. Membiarkannya terisak di pundakku. Hanya itu yang kubisa.
“Nggak.
Gue nggak jijik sama sekali. Gue malah salut sama lu. Gue ngerti bagaimana
rasanya menyembunyikan perasaan indah tapi tak terlihat indah bagi orang lain
itu.”
Kau menolehkan
kepalamu. Tatapan heran dan penuh tanya kau lemparkan padaku seolah meminta
kejelasan maksud kalimat yang kuucapkan.
“Ma-maksud
lu, Jun?”
Aku
tersenyum, “Gue jatuh cinta sama abang kandung gue sendiri,”
Tatapan
kagetmu tak bisa kau tutupi. Aku sudah menduga reaksimu akan seperti itu.
Mataku
menerawang jauh. Mengingat hari-hari berat yang kulalui saat aku menyadari
bahwa rasa cintaku itu tabu.
TBC
Rasanya ceritanya komplit banget. Arya nya manis banget dan Jun keren banget.
BalasHapusMohon di lanjutin? Penasaran. Hehe...