Kamis, 27 September 2012

Sttt, Ini Rahasia Kita (Ch 1)


Aku hanya bisa termangu menatap cairan bening yang mengalir dari sepasang mata indah milikmu. Aku hanya bisa mengulurkan sebungkus tissue yang entah kenapa bisa terselip di salah satu laci tasku. Walau pada akhirnya kau kaget dan terburu-buru menghapus air matamu setelah sadar bahwa aku sudah berjongkok di depanmu yang terduduk tersedu dan tak berdaya.
Wajah kagetmu itu menggelitikku untuk menyunggingkan sebuah senyuman. Bukan, bukan senyuman mengejek ataupun menghina. Hanya sebuah senyuman yang menyampaikan bahwa aku tak keberatan melihat kau menangis, jadi kau tak perlu malu.

Aku tahu benar bahwa tangisan itu adalah hal yang tabu bagi seorang lelaki. Tapi, faktanya aku malah suka dengan air matamu. Aku terpikat dengan tangismu. Aku jatuh cinta padamu yang sedang menangis.

Kau tertawa kikuk seperti seorang bocah yang ketahuan sedang membaca majalah dewasa oleh kakak perempuannya. Dengan terburu-buru kau menghapus air mata yang membasahi wajahmu dengan lengan kemeja yang kau pakai. Wajahmu yang merona, gerakanmu yang kalap, matamu yang berusaha tak menatapku, semuanya aku suka.

Aku hanya menatapmu dalam diam sambil bertopang dagu dengan lututku. Kutahan sekuat tenaga keinginanku untuk membelai pipimu dan mengusap wajahmu yang terlihat sembab karena kutahu bahwa sebagai seorang lelaki, harga dirimu akan semakin tercabik-cabik jika diperlakukan seperti itu olehku. Jadi hanya sebuah pertanyaan yang bisa kuajukan.

"Kenapa lu nangis?"

Kau menggeleng keras tanpa mengeluarkan suara. Hanya menunduk dalam kebisuan sambil menahan rasa malu.

Aku yang tak tahan akhirnya berpindah duduk di sisimu dan menarik kepalamu dalam dekapan sebelah tanganku dan berucap.

"Menangislah. Menangislah jika itu bisa membuat lu sedikit merasa lega."


***


"Jun!"
Suaramu terdengar lebih riang hari ini. Tak seperti kemarin saat kutemukan kau menangis tersedu di belakang gedung kuliah dan berakhir menghabiskan tangisanmu di dalam dekapanku.

"Hai, Ya."

Kau yang berlari riang mendekat merupakan pemandangan siang yang indah dimataku. Hari ini aku sangat beruntung.

"Lu ada kuliah jam segini?"

"Enggak, kenapa?"

"Gue mau nraktir lu,"

Alisku bertaut. Ada apa gerangan.

"Lho? Tumben?" ledekku.

Rona merah terlihat di pipimu. Manis sekali.

"Anu, hitung-hitung ucapan terima kasih soal yang kemarin,"

Mataku membulat. Hei, dia berterima kasih padaku? Dan tanpa sadar, sebelah lenganku sudah mendarat di kepalanya dan mengaca-acak rambutnya yang sebelumnya tertata rapi.

"Thanks. Kebetulan gue lagi laper!"

Aku hanya duduk dan memandangmu yang menghabiskan sepiring siomay dengan lahap. Jujur saja pemandangan itu sudah cukup membuat perut dan hatiku kenyang.

"Lu yakin nggak pesen makanan? Katanya tadi lu laper?"

Hei, perhatianmu itu membuatku menjadi seseorang yang beruntung diantara ribuan bahkan jutaan orang di kota ini.

Aku hanya menggeleng pelan dan tersenyum, "Liat lu makan mendadak gue jadi kenyang," kemudian menyeruput sedikit es jeruk yang kupesan dan kembali memandangmu yang kini mengerjap beberapa kali dengan wajah tak percaya.

Tawa renyahmu yang selalu disukai indra pendengarku terdengar.

"Lu itu ya, seharusnya dilahirkan sebagai cowok! Kaya'nya Tuhan benar-benar masukin jiwa ke raga yang salah deh!"

"Kenapa lu mikir kaya' gitu?" tanyaku seolah-olah penasaran dengan ucapannya.

"Ya iya lah… Lu itu gentle banget tau! Tiap temen cewe yang gue kenal selalu ngeributin 'Seandainya Juni itu seorang cowo, dia pasti bakalan gue jadiin pacar!'"

Alisku bertaut, "Gentle dari manaan sih?"

Kau meneguk air minum pesananmu dengan sedikit terburu-buru hingga beberapa tetes air membasahi sudut bibir dan dagumu. Dengan sigap kuambil serbet kertas terdekat dan mengusapkannya ke bagian wajahmu yang basah.

"Nah, sikap kaya gini yang namanya gentle!" lanjutmu tiba-tiba.

"Tiap lu jalan sama teman cewe atau cowo yang bodynya lebih kecil dari lu, lu selalu ngambil posisi di bagian badan jalan. Tiap mau nyeberang, lu selalu memosisikan diri di sebelah arah datangnya kendaraan. Mau masuk kelas, lu selalu mendahulukan teman-teman cewe. Lu juga selalu ngebantuin teman-teman cewe yang kesusahan bawa barang atau apapun itu. Termasuk saat lu ngelap air minum gue dan pas saat gue nangis—" suaramu mengecil sekejap. "—kemarin,"

Rona merah kembali menghiasi wajah manismu, dan itu berhasil membuatku menyunggingkan seulas senyum.

"Lu curang!" lirihmu dengan wajah yang masih memerah.

Untungnya kita duduk di bangku paling sudut di kantin ini dan suasana sedang hiruk-pikuk dengan para mahasiswa yang kini memfokuskan diri berkutat dengan perut mereka yang keroncongan sehingga tak begitu peduli dengan kegiatan orang lain.

"Curang dimananya?" tanyaku heran sambil menopangkan dagu di lenganku.

"Nggak seharusnya lu ngelihat gue nangis kemarin. Dan gue juga malu-maluin banget karena bisa-bisanya nangis di pundak cewe',"

Aku menggaruk pelipisku yang tak gatal.

"Lalu hubungannya dengan curang?" tanyaku dengan alis bertaut.

"Dimana-mana cowo yang mendekap cewe yang nangis, bukan cewe yang mendekap cowo yang nangis," 

Aku kembali tersenyum mengerti arah pembicaraan ini.

"Tapi, gue nggak masalah kok. Tangis itu hak dari setiap manusia. Bukan hanya wanita. Nggak ada larangan dan hukuman yang mengikat seorang laki-laki nggak boleh nangis kan?"

"Tapi, di depan lu—"

"Jadi, lu lebih milih kepergok lagi nangis sama salah satu teman cowok lu, gitu?" potongku.

Parasnya pucat seketika. Dia menggeleng cepat.

"Kalau kejadian kaya gitu, gue bisa malu tujuh turunan!"

Aku tersenyum puas, "Kan, masih untung gue yang nemuin lu."

Makananmu tandas, gelaskupun kosong. Jam istirahat berakhir dan satu persatu mahasiswa telah melangkah meninggalkan kantin dengan wajah puas karena perut telah berisi. Begitupula kau yang dengan santainya menepuk-nepuk perutmu yang kini telah padat.

Aku berdiri dari dudukku dan menyampirkan ransel ke punggung kurusku setelah melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kiriku. Waktunya aku kuliah. Walau kakiku enggan melangkah berpisah denganmu, tapi kewajibanku sebagai seorang mahasiswa tetap harus kujalankan.

"Ya, sorry banget. Gue ada kuliah, jadi gue cabut duluan ya," ucapku dengan wajah kecewa.

"Ah, iya gapapa, duluan aja. Biar minum lu gue yang bayar."

"Thanks banget ya. Udah nraktir gue. Kesempatan langka gini jarang-jarang," ledekku lagi.

Kaupun tertawa, "Sialan lu! Emang gue sepelit dan semiskin itu?"

Aku diam sejenak seolah-olah berfikir, "Iya. Lu kan mahasiswa paling melarat yang gue kenal!"

"Sial! Besok-besok lu ga bakal gue traktir lagi! Rugi gue!"

Aku hanya berjalan menjauh sambil tertawa mendengar kau yang misuk-misuh setelah kuledek. Tapi, beberapa detik kemudian kakiku berhenti melangkah. Kutolehkan kepalaku padamu yang kini baru berdiri dari duduk.

"Arya, kalau lu mau cerita, apapun itu. Gue siap jadi pendengar kok," ucapku tulus.

Senyummu sudah cukup menandakan bahwa kau menghargai tawaranku.

"Thanks, Jun. Lu memang teman yang baik."

Malam itu, malam yang gelap tanpa bintang. Awan mendung yang dari sore tadi menghalangi langit senja kini juga menghalangi pendaran lembut bintang yang menghiasi jagad malam. Ponselku berdering nyaring di atas meja belajarku. Namamu tercantum di layar yang kini masih berkedip. Aku melirik jam dinding sekilas yang kini menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Halo, ada apa, Ya?" tanyaku sedikit panik. Tak biasanya kau menelponku di jam segini.

"Jun,"

Suara lirihmu terdengar nyaris berbisik.

"Arya, lu kenapa?"

Tak pernah aku sepanik ini kecuali waktu adikku kecelakaan tiga tahun lalu.

"Juni, gue butuh lu,"

***
Wahai pangeran mungil
Apa yang kau tangisi?
Apa yang kau resahkan? 
Apa yang kau cemaskan?
Apa yang kau takutkan?

Izinkan aku yang menjadi tamengmu?
Menjadi Perisaimu,
Pelindungmu,
Penjagamu,

 Hapuslah air matamu
Kegundahanmu
Resahmu

Karena itu kan membuaku ikut menangis
Ikut bersedih
Ikut tersakiti

***


Dengan panik kulajukan sepeda motorku dengan kecepatan penuh. Dinginnya malam tak kuhiraukan menusuk-nusuk kulitku. Jujur saja aku panik, aku kalap, aku tak bisa berfikir jernih, yang ada di kepalaku kini hanya kau. Sesampainya di tempat itu, kuparkirkan asal kendaraanku dan berlari menuju lokasi yang tadi kau sebutkan di telpon dan saat kutemukan, sosokmu terlihat begitu lemah dan terpuruk.

“Arya?” panggilku ragu saat melihat sosok ringkih itu di depanku. Lelaki berparas tampan dan semampai itu terlihat begitu kecil sambil memeluk lututnya.

Sosok yang memang kau itu, terlihat menengadahkan kepalanya. Mata sayumu terlihat sembab. Kau kembali menangis.

“Lu kenapa?” tanyaku cemas dengan kondisimu yang terlihat lebih parah dari kemarin.
Kau menghambur ke pelukanku dan menangis tersedu di dalam dekapanku. Tubuhmu yang terpaut lima centi di atasku membuatmu harus sedikit merunduk untuk menyembunyikan wajah tangismu di pundak kurusku. Tanpa waktu lama, kaos bagian pundakku basah oleh air matamu.

***

Aku menyerahkan sebotol air mineral ke tanganmu. Sosokmu yang tadi menangis tersedu kini sudah terlihat sedikit tenang. Tapi, aku tetap sabar menunggu kau mulai bercerita.

“Sory ya, Jun. Gue benar-benar laki-laki yang memalukan. Nangis di tengah malam begini, dan malah minta seorang cewe datang buat nenangin gue. Tapi, jujur gue nggak tahu lagi siapa yang harus gue hubungi. Dan gue terlalu pengecut untuk melewati semua masalah gue sendiri,”

Suaramu yang lirih dan penuh rasa bersalah membuat tanganku meraih kepalanya dan mengadu keningku dengan kening milikmu.

“Hei, tadi siang kan gue udah bilang. Kalau lu mau cerita, apapun itu, gue siap jadi pendengar. Jadi lu nggak usah nggak enak hati kaya gitu donk,”

Kau tersenyum simpul. Sukses membuat hatiku sedikit tenang.

“Lu memang seharusnya jadi cowo!” ucapmu sambil memejamkan mata.

Kata-kata itu selalu sukses membuatku tersenyum.

“Lu mau bilang hal kaya gitu berapa kali sih, Arya?”

“Gue benar-benar berfikir kaya gitu lho, Juni Prananta!”

Aku terkekeh pelan saat kau menyebutkan nama lengkapku.

“Sayangnya gue terlahir jadi cewe, Arya Dipta Kahfi!” ucapku sambil membalas menyebut nama lengkapmu.

Kau terdiam. Akupun terdiam. Kini yang terdengar hanya deru angin malam yang menghembus di antara kita. Dahi kita yang tadi menempel kini sudah mengambil jarak. Aku kini dapat jelas menatap wajahmu yang masih sedikit sembab di bagian kelopak mata bawah. Lenganku terulur perlahan mengusap pipimu.

“Lu nggak minta gue cerita?” tanyamu heran tapi tetap membiarkan tanganku bermain-main dengan helaian rambutmu yang jatuh tak beraturan di area pelipis.

Aku tersenyum tanpa menghentikan gerakan tanganku yang kini perlahan merapikan rambutmu yang sedikit berantakan.

“Gue hanya ingin dengar cerita lu di saat lu siap untuk bercerita. Jadi lu nggak perlu cemas,”

Kau tertunduk sejenak, senyuman hilang dari parasmu dan berganti dengan tatapan nanar.

“Jun, sebenarnya gue…”

***

Aku tahu, amat sangat tahu. Sudah kuduga sebelumnya. Kau dan dia. Kau dan Bima Erlangga, sahabatmu sejak kecil itu. Dia yang membuatmu begini.

Kau yang begitu lembut dan dia yang begitu tegas. Kau yang begitu halus dan dia yang begitu jantan. Kau dan dia. Bagaikan bumi dan langit, bulan dan matahari, berbeda tapi saling melengkapi. Itulah kalian.

Saling mengenal sejak di bangku sekolah dasar, bertetangga, dan orang tua yang saling bersahabat membuat kalian dekat seperti selayaknya saudara kandung. Kau yang sewaktu kecil terkesan lemah selalu berlindung di balik punggung Bima yang tegap dan tangguh. Bima yang selalu melindungimu, Bima yang selalu menjagamu, dan Bima yang selalu berada di sampingmu. Dia bagai seorang kakak yang amat kau dambakan, dan kau bagai adik yang selalu ia idamkan. Kedekatan kalian bagai benang tebal yang melingkar di pergelangan tangan mungil sepasang anak manusia.

Sayangnya, ikatan kakak-adik itu hanya bertahan hingga kalian berusia 15 tahun. Ikatan yang dirajut dengan benang kasat mata itu hancur ketika kau menyadari bahwa kau jatuh cinta padanya, pada lelaki yang awalnya kau anggap sebagai sahabat sekaligus kakak.

Sejak saat itu kau tetap berusaha berada di dekatnya. Tapi, kedekatanmu kali ini sedikit berbeda karena kau menutupi perasaan cintamu padanya. Kau tahu perasaanmu itu amat salah, tak normal, dan berbahaya. Tapi, kaupun tak sanggup untuk mengalihkan rasa cintamu darinya. Hingga akhirnya kau menyakiti dirimu sendiri.

Rasa sakit itu kembali menorehkan luka dalam setiap kali kau melihat Bima bersama gadis lain. Bima yang terlahir tampan dan rupawan seolah ditakdirkan dikelilingi gadis-gadis cantik. Kau tersingkirkan. Tapi, setiap hubungan Bima dengan gadis-gadis cantik nan rapuh itu berakhir, kau kembali melangkah mendekat dan mengisi kekosongan di hati Bima. Bagai seorang adik yang berusaha membuat kakaknya kembali ceria. Selalu seperti itu, berulang kali, dengan pattern yang sama.

Hingga kini, entah berapa kali kau kembali terluka dan menangis setiap kali Bima mendapatkan seorang kekasih. Ketika Bima mengenalkan kekasih-kekasihnya dengan bangga di depanmu, ketika Bima dengan santainya bermesraan dengan kekasihnya di hadapanmu. Ketika Bima mencumbu kekasihnya tepat di depan matamu.

***

“Jun, lu pasti jijik sama gue, kan?”

Kau menengadahkan wajahmu menatap langit kelam tak berbintang itu dengan tatapan nanar.

“Saat gue sadar kalau gue Gay, gue rasanya ingin mati saat itu. Gue takut, gue kalut, gue nggak tau harus ngapain. Gue jijik dengan perasaan gue. Gue jijik dengan tubuh gue!”

Aku kembali mendekapnya. Membiarkannya terisak di pundakku. Hanya itu yang kubisa.

“Nggak. Gue nggak jijik sama sekali. Gue malah salut sama lu. Gue ngerti bagaimana rasanya menyembunyikan perasaan indah tapi tak terlihat indah bagi orang lain itu.”

Kau menolehkan kepalamu. Tatapan heran dan penuh tanya kau lemparkan padaku seolah meminta kejelasan maksud kalimat yang kuucapkan.

“Ma-maksud lu, Jun?”

Aku tersenyum, “Gue jatuh cinta sama abang kandung gue sendiri,”

Tatapan kagetmu tak bisa kau tutupi. Aku sudah menduga reaksimu akan seperti itu.

Mataku menerawang jauh. Mengingat hari-hari berat yang kulalui saat aku menyadari bahwa rasa cintaku itu tabu.

TBC

1 komentar:

  1. Rasanya ceritanya komplit banget. Arya nya manis banget dan Jun keren banget.

    Mohon di lanjutin? Penasaran. Hehe...

    BalasHapus

silakan komentar, kritik, maupun sarannya...